Fajarinfoonline.com,”KENDARI — Pemerhati hukum dan keadilan sosial, Fianus Arung, menyoroti keras lambannya pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan terkait sengketa lahan milik Koperasi Perikanan dan Perempangan Saonanto (KOPPERSON) di Tapak Kuda, Kota Kendari.
Dalam opini yang ditulisnya, Fianus menyebut negara “seharusnya malu” karena telah gagal menegakkan hukum yang dibuatnya sendiri. Ia menilai, keterlambatan eksekusi yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) sejak tahun 1995 merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip supremasi hukum.
“Negara telah berutang secara moral bahkan yuridis kepada KOPPERSON, karena sejak 1996 putusan pengadilan itu tidak pernah dieksekusi. Ini bukan hanya kelalaian administratif, tapi bentuk pengkhianatan terhadap keadilan,” tegas Fianus dalam tulisannya.
Putusan Inkrah yang Tak Pernah Ditegakkan
Menurut Fianus, berdasarkan Pasal 195 ayat (1) Herziene Indonesisch Reglement (HIR), setiap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut.
Namun, kata dia, hingga hampir tiga dekade kemudian, perintah eksekusi lahan KOPPERSON tak kunjung dijalankan. Ia menyebut kondisi ini memperlihatkan lemahnya wibawa hukum dan rendahnya integritas lembaga peradilan dalam menegakkan keadilan.
“Putusan hukum yang tidak dilaksanakan sama saja dengan menolak keadilan. Ini mempermalukan institusi hukum yang mestinya menjadi benteng kebenaran,” ujarnya.
Narasi Sesat dan Pembalikan Fakta
Fianus juga menyoroti munculnya opini publik yang cenderung menyudutkan KOPPERSON seolah menjadi pihak perampas hak warga Tapak Kuda. Padahal, menurutnya, koperasi tersebut justru merupakan pemegang hak sah berdasarkan putusan pengadilan.
“Ada upaya sistematis untuk menggiring opini agar masyarakat membenci KOPPERSON. Padahal yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban adalah negara yang tidak menunaikan kewajibannya,” tulisnya.
Dugaan Keterlibatan Mafia Tanah
Dalam bagian lain tulisannya, Fianus menilai kisruh di kawasan Tapak Kuda bukan semata konflik agraria, melainkan indikasi kuat praktik mafia tanah dan penyalahgunaan wewenang di tubuh lembaga pertanahan.
Ia menyinggung adanya penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas lahan berstatus Hak Guna Usaha (HGU) milik KOPPERSON, yang jelas bertentangan dengan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 4 ayat (2).
“Lebih ironis, ada pejabat BPN yang mengaku ‘terjebak Batman’ saat menandatangani sertifikat tersebut. Ini bukan kelucuan, tapi bukti bobroknya tata kelola pertanahan,” ungkapnya.
Fianus juga menilai pernyataan sejumlah pejabat pengadilan dan lembaga non-yudikatif yang ikut menanggapi perkara ini secara subjektif, justru memperkeruh keadaan dan menimbulkan kesan keberpihakan pada pihak yang tidak berhak.
Desakan kepada Presiden, MA, dan KPK
Dalam penutup tulisannya, Fianus mendesak agar Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan mengawal pelaksanaan eksekusi putusan KOPPERSON yang sudah berkekuatan hukum tetap.
“Negara tidak boleh terus bersembunyi di balik dalih birokrasi. Sudah saatnya pemerintah menunjukkan keberpihakan pada kebenaran. Negara kuat bukan karena banyaknya aparat, tetapi karena tegaknya hukum yang adil,” tegasnya.
Latar Belakang Singkat
Kasus lahan KOPPERSON berawal dari sengketa hak guna usaha (HGU) yang telah dimenangkan koperasi melalui putusan pengadilan tahun 1995. Namun hingga kini, perintah eksekusi yang diterbitkan sejak 1996 belum juga direalisasikan. Situasi ini memicu ketegangan antara pihak koperasi dan warga yang telah mendirikan bangunan di atas lahan sengketa di kawasan Tapak Kuda, Kendari.